Fakultas Hukum UNTAN Bekerjasama Dengan DPP MAHUPIKI Dorong Kesiapan Hukum Adat dalam Menyongsong Pemberlakuan KUHP BARU

Berita Nasional

Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (UNTAN) menginisiasi kegiatan seminar nasional bekerjasama dengan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, yang bertemakan Menelisik Eksistensi Hukum Yang hidup dalam masyarakat dalam menyongsong pemberlakuan Undang-Undang nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengesahan KUHP Baru Indonesia yang akan diberlakukan pada awal tahun 2026 memunculkan sebuah dilema dan dinamika tersendiri pada aparat penegak hukum dan masyarakat luas, selain dari persoalan beberapa pasal tindak pidana yang dianggap berpolemik di tengah masyarakat juga terkait substansi asas yang muncul dalam KUHP yaitu berkenaan dengan pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang biasa juga dikenal dengan istilah Hukum Adat (adatrecht).

Dekan Fakultas Hukum UNTAN, Dr. Hj. Sri Ismawati, S.H., M.Hum. dalam sambutannya memberikan apresiasi atas inisiasi panitia mengambil tema hukum adat,  mengingat  hukum adat sendiri sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat  semakin menguat eksistensinya, sehingga seminar ini menjadi momen yang relevan untuk mendorong diskusi diskusi ilmiah dan penelitian-penelitian tentang hukum adat.

Seminar ini menghadirkan pembicara, diawali oleh welcome speech dari Rektor UNTAN, dan Pembicara kunci yaitu Wamenkumham RI. Wamenkumham RI menekankan bahwa keberadaan pasal 2 dalam KUHP bukan bermaksud menghidupkan peradilan adat melainkan untuk melegitimasi pranata hukum yang hidup dalam masyarakat. dan terhadap keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak melanggar Asas Legalitas yang dilandaskan pada nilai filosofis  Nulla poena sine lege setiap penjatuhan penghukuman harus didasarkan pada undang-undang pidana; melainkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat adalah merupakan bagian dari nilai filosofis nulla poena sine jure tiada pidana tanpa hukum yang dimaksudkan termasuk didalamnya adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. disisi lain Prof. Hartuti Harkrisnowo, S.H., MA, Nara sumber dari UI memberikan pemahaman tentang pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tidak dijalankan tanpa adanya batasan, adapun batasan yang diungkapkan meliputi tidak boleh bertentangan dengan kitab undang-undang hukum pidana, dengan UUD 1945, Hak asasi manusia (HAM), dan dengan prinsip umum yang diakui oleh bangsa bangsa yang ada.

Akhir pelaksanaan seminar memperlihatkan terdapat sisi lain yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam pelaksanaan KUHP yang berkaitan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat hal tersebut diungkap oleh Tadeus sekretaris Dewan Adat Dayak Kalimantan Barat yang menyatakan bahwa eksistensi hukum adat jauh lebih efektif dilaksanakan dalam menyelesaikan persoalan masyarakat karena dalam kehidupan masyarakat kita masih sangat kental dengan nilai komunal dan nilai ketuhanan yang kental dan dirasakan sebagai cara cepat mengembalikan keseimabangan dalam masyarakat hal tersebut turut dikuatkan oleh Akademisi Universitas Riau Dr. Erdianto Effendi, S.H., M.Hum. bahwa keberadaan hukum adat tidak bisa dilepaskan dari masyarakat Indonesia, bahkan sesungguhnya tanpa negara Indonesia membuat Undang-Undang negara ini akan tetap dapat berjalan dengan baik, hal tersebut tidak terlepas dari keberadaan hukum adat di tanah air Indonesia. Namun hal yang menarik juga turut diungkapkan oleh Pj Gubernur Kalimantan Barat yang diwakili oleh Staf Ahli bidang Hukum, Politik dan Pemerintahan Dra. Natalia Karyawati, M.E bahwa Pemprov Kalimantan Barat telah melakukan berbagai Upaya dalam mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat melalui  Perda yang telah dibuat oleh pemerintah daerah di berbagai kabupaten Kota yang ada di Kalimantan Barat; lebih lanjut diungkapkan oleh Kajati Kalimantan Barat yang turut sebagai Narasumber bahwa  terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat telah ada dan diakui salah satu contoh di Aceh dengan adanya Qanun dan banyak diakomodir dalam pelaksanaan kegiatan Restorative Justice (RJ), hal yang sama diungkapkan oleh AKBP Bambang SW yang mewakili Kapolda Kalimantan Barat bahwa pengakuan hukum yang hidup dalam masyarakat telah dilakukan terhadap berbagai perkara yang ada melalui penerapan restorative justice yang dilandasi peraturan kapolri No.8 tahun 2021, sebagai contoh penyelesaian perkara pembakaran lahan.